Laman

Minggu, 01 Januari 2012

Misteri Gandrung dari Tiongkok


Dua puluh tahun yang lalu, tepatnya 5 Maret 1990, saya menonton pementasan Gandrung  di Taman Ismail Marzuki, garapan seniman kondang Hendrawanto Panji Akbar atau yang lebih dikenal Deddy Luthan. Tema yang diangkat cukup menggugah: Kadung Dadi Gandrung Wis! Deddy menampilkan dua penari Gandrung senior, Mbah Suanah dan Mbah Awiyah, serta penari Gandrung muda lainnya.

Dari Harian Kompas saat itu saya mengetahui, Deddy Luthan ternyata telah empat kali mementaskan Gandrung pada tahun 1990 hingga 1993. Bahkan pernah membawa seniman Gandrung ke Amerika Serikat. Sungguh perhatian yang luar biasa!



Pementasan Gandrung tersebut cukup mengobati kerinduan, karena sudah 27 tahun saya tidak menonton Gandrung. Sebabnya banyak. Karena makin menjamurnya tontonan baru seperti orkes melayu atau angklung modern, diikuti berkembangnya anggapan miring kalau nonton Gandrung dikatakan orang ndeso.

Selain terkesan, pementasan Gandrung itu juga memunculkan banyak pertanyaan di kepala saya. Terutama ketika mengamati, para penari dan nayoga berwajah mongoloid yakni berkulit kuning, berambut hitam,  dan bentuk mata sipit.

Ras Mongoloid mulanya tumbuh di Asia Utara, Asia Tengah dan Asia Timur yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia termasuk di Indonesia. Bangsa Tionghoa/China yang merupakan rumpun ras ini, paling banyak melakukan migrasi ke Indonesia sehingga terbentuklah akulturasi budaya yang bisa kita saksikan hingga saat ini.

Lalu, apakah ada keterkaitan gandrung dengan kebudayaan Tionghoa? Benarkah Gandrung memang dibawa oleh orang-orang dari negeri Tirai Bambu itu?

Gandrung dan Cungking
Betapa misterinya gandrung, menggugah saya untuk menelusuri asal-muasal kesenian ini. Saya mengunjungi daerah Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri, atau sekitar 3 kilometer dari pusat kota Banyuwangi.  Daerah ini disebut-sebut sebagai pusat kelahiran gandrung.

Saya mengunjungi makam Mbah Cungking. Arsitektur bangunan makam ini amat mirip dengan rumah-rumah kuno yang pernah saya saksikan di China. Menurut cerita juru kunci, bangunan makam sebenarnya pernah diubah menjadi bangunan gedung, tapi akhirnya dikembalikan ke bentuk semula karena terbakar.

Nama Cungking di Banyuwangi pun sangat identik dengan Chungking, salah satu kota modern di China bagian selatan. Kota ini dibangun oleh Dinasti Ming pada abad ke-14 masehi yang menjadi ibu kota kerajaan menggantikan ibu kota sebelumnya di Beijing.

Adanya nama Cungking di Banyuwangi menunjukkan bahwa jejak Dinasti Ming pernah singgah di Banyuwangi (dulu, Blambangan).

Slamet Mulyana dalam Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, menuliskan, bahwa rumpun mongoloid telah datang ke Swarnadwipa (Jawa) sebelum abad ke-7. Kedatangan mereka kemudian disusul penyerbuan Kubilai Khan ke Singosari, hubungan diplomatik masa Sriwijaya dan muhibah Laksamana Cheng Ho pada masa Majapahit. Saat kolonial Belanda, migrasi orang-orang mongoloid ini terjadi secara besar-besaran.

Sebagai kerajaan baru yang maju pesat, Dinasti Ming mengirim misi muhibah raksasa yang dipimpin Laksamana Cheng Ho meliputi ke seluruh Asia dan tepi timur Afrika. Mereka menyatakan diri sebagai orang Chungking karena saat itu sebutan Cina belumlah muncul. Muhibah ini bermisi diplomatik dan perdagangan sekaligus mengabarkan tentang keberhasilan Dinasti Ming dari kekuasaan Mongol.

Salah satu tujuan muhibah adalah Majapahit. Namun di awal abad 16, Majapahit telah mengalami sandyaKala atau mulai melemah sehingga bermunculanlah kerajaan-kerajaan kecil di Swarnabumi.  Salah satunya adalah Kerajaan Blambangan yang saat itu muncul sebagai kekuatan baru di Swarnadwipa . Dengan adanya perkembangan politik di Majapahit tersebut,  armada Cheng Ho dibagi menjadi dua: satu tetap menuju Majapahit (atau disebut Kedaton Kulon)  dan satu lagi menuju Blambangan (Majapahit kedaton wetan).

Ketika armada Cheng Ho menuju Blambangan, amarah Majapahit yang saat itu diperintah Dewi Suhita tersulut. Majapahit berprasangka bahwa Laksamana Cheng Ho mendukung Blambangan untuk menghancurkan Majapahit . Prasangka tersebut sangat wajar karena ketika Raden Wijaya mendirikan Majapahit, R.Wijaya yang masih keturunan Singosari telah menggunakan tentara Kubilai Khan untuk menghancurkan kekuasaan Kediri.

Oleh karena itu, Dewi Suhita -yang lebih dekat pada trah Kediri itu, segera mengirim kekuatan tempur ke Blambangan yang dipimpin Bhree Narapati. Sedangkan Blambangan saat itu diperintah oleh Bhree Wirabhumi -yang lebih dekat pada trah Singosari.


Pada penyerangan ini, pasukan Majapahit  berhasil menghancurkan dan  membunuh lebih dari setengah utusan armada Cheng Ho, sedangkan sisa pasukan yang selamat melarikan diri ke hutan hutan di Banyuwangi. Meski akhirnya akibat tindakannya ini, Majapahit harus menelan pil pahit karena harus membayar denda dan memberikan upeti ke Dinasti Ming dalam jumlah sangat besar.

Sisa armada Cheng Ho ke pedalaman Blambangan inilah, yang kemungkinan kuat menjadi cikal bakal wajah mongoloid di Cungking Banyuwangi.

Namun masyarakat Cungking mengungkapkan hal berbeda mengenai asal-usul daerahnya. Meskipun asal-usul tersebut sebenarnya masih berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat Tionghoa kuno.

Menurut para sesepuh, nama Cungking berasal dari kebiasaan masyarakat setempat mengikat rambutnya di belakang, atau dalam bahasa jawanya: kuncung teng wingking. Orang jawa menyebutnya dengan kuncir.

Kegemaran orang Tionghoa kuno menggunakan kuncir dipopulerkan sejak negara itu ditaklukan oleh Kubilai Khan dari Mongol. Maksutnya, sebagai bentuk penghinaan kepada bangsa China. Dengan berkepala botak dan kuncir  akan terlihat seperti kuda yang bodoh.  Kuncir ini masih terus dipakai hingga kedaulatan China berhasil direbut kembali oleh Dinasti Ming.

Cerita lain yang dituturkan masyarakat Cungking adalah tentang legenda Mbah Cungking yang memiliki kemahiran dalam pertanian. Padi yang ditanam dapat tumbuh subur dengan hasil berkualitas. Mbah Cungking juga memiliki banyak kerbau untuk membajak sawah-sawahnya.

Legenda ini hampir mirip dengan legenda Wang Jing Hong, pembantu utama Cheng Ho, yang tertulis dalam buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik, karya Benny G. Setiono (hal 33). Dalam buku itu dituliskan bawah Wang Jing Hong terpaksa ditinggal di Semarang karena sakit. Kepada penduduk setempat, Hong telah mengajarkan mengolah tanah dengan peralatan membajak sawah yang dikenal dengan Lu Ku.

Kemiripan Gandrung dengan Gerakan Bhiksu
Ketika saya mengikuti pelatihan ke Jepang, saya melihat gerakan yang dilakukan oleh bhiksu di kuil kuil Budha ternyata sama dengan yang saya lihat pada tarian gandrung. Yakni gerakan patah-patah, atau pantomin, maupun gerakan mengangkat tangan setinggi muka, sambil menunduk, dan menekukan lutut kaki dengan mengucapkan Ami Tabha.

Gerakan yang sama juga saya saksikan di Korea, Hong Kong, Malaysia, dan Singapora. Saya kemudian melacak kesamaan gerak antara gerakan Gandrung dengan khasanah Budhis, apalagi setelah ditemukan penemuan patung Budha di Gumuk Tingkil, Banyuwangi. Bila ditelusuri, ternyata ketika Dynasti Ming berkuasa,agama Budha mengalami pencerahan dan  berkembang sangat pesat di negara itu, sebagai bentuk perlawanan kepada Mongol yang mengintrodusir aliran baru dalam agama Budha. Oleh karena itu, armada Cheng Ho, juga disebut  armada Tiga Pusaka Budha.

Dalam buku ”Tionghoa dalam pusaran Politik” Benny G.Setiono (halaman 30), mengutip  tulisan Prof Kong YUanzhi berjudul “Muslim Tionghoa Cheng Ho, Mystery Perjalanan Muhibah di Nusantara ” sebagai berikut:

Expedisi ini telah menjadikan Laksamana Cheng Ho dipuja puja dan pada tahun 1431 diberi gelar Sam Po Tay Jin/Sam po kong/Sam Po Toa lang/Sam Po Bo. Dewa Tiga Pusaka yaitu, Budha Dharmasangha. Ini berhubungan dengan agama Budha, sebab dalam rombongan Cheng Ho, ikut pula tiga pusaka Budha  yaitu Budha, biksu dan kitab suci Budha.

Pada masa ini ditulis karya sastra yang monumental “Shi Yu” oleh Pujangga Wu Cheng. Novel ini menceritakan perjalanan Bhiksu Budha Thon Sam Chong mencari kitab suci Budha.

Novel ini memberi inspirasi dan motivasi kepada bangsa China sejak karya itu ditulis maupun sampai saat ini dimanapun bangsa China berada.

Oleh karena itu karya pujangga Wu Cheng . “Shi You” , dapat dipastikan menjadi mantera yang sangat kuat pada armada Laksamana Cheng Ho dalam melakukan muhibah yang spektakular itu. Mereka tidak saja mengerti dan menghayati novel tersebut, tetapi mereka juga mengagumi dan mengabadikannya.

Dalam pustaka modern, novel tersebut dikenal dengan “Journey to the west”, sedangkan orang China saat ini mengenalnya sebagai Sun Go Kong/ Cerita Monyet yang Lincah.

Sayang dalam cerita yang berkembang sekarang ini justru peran Bhiksu Tong atau Thon Sang Chong kurang diperhatikan. Justru Sun Go Kong (Monyet Lincah itu) yang lebih menjadi pusat perhatian. Padahal monyet,babi dan lain-lain yang mengiringi perjalanan bhiksu Thon Sang Chong, sebenarnya hanya visualisasi (fable) dari watak yang dimiliki manusia.

Untunglah rombongan armada Laksamana Cheng Ho, yang tertinggal di Cungking Banyuwangi, tetap mempertahankan dengan sekuat hati inti novel tersebut melalui drama tari yang indah sebagai hasil transformasi budaya yaitu Gandrung Banyuwangi.

Inilah persamaan Gandrung Banyuwangi dengan karya sastra pujangga Wu Cheng “ Shi Yu’:

1. Pakaian yang digunakan sangat mirip dengan pakaian Bhiksu tingkat tinggi yang memimpin upacara atau pakaian yang digunakan oleh Biksu Tong. Pakaian itu tentu mengalami anomali dan distorsi maupun penyesuaian pada kesenian Gandrung. Tetapi ciri pakaian Bhiksu China / pakaian drama China masih nampak jelas.

2.  Gandrung dan novel Shi Yu sama-sama, terdiri atas tiga babak.  
Pada babak pertama, Biksu Thong melakukan sembah berpamitan kepada seluruh ummat dan penguasa untuk minta restu melakukan perjalanan. Gerakannya dengan mengangkat tangan setinggi muka dan menekukan kaki sambil mengucapkan syair pujian. Sedangkan Gandrung pada Jejer juga melakukan gerakan pantomin/patah-patah dengan suasana khusyuk yang hanya diiringi melody dengan syair yang masih sulit dipahami,  kecuali lagu pembukaan “Pada Nonton”


Pada babak kedua novel “ Shi Yu”, menceritakan bhiksu Thong mendapat serangan, gangguan, musuh yang tidak menginginkan suksesnya perjalanan tersebut. Tetapi Bhiksu Thong tetap mengajak mereka pada jalan kebaikan. Ssedangkan dalam Gandrung, babak kedua adalah Paju dengan memberi kesempatan para penonton memamerkan kemampuan silat baik kepada Gandrung maupun antara penonton dengan penonton disertai syair nasehat dan pengarahan. Hanya pada zaman Belanda babak ini terjadi distorsi dan anomaly. Gerak pertempuran menjadi gerak rayuan dan syair nasehat dan pengarahan menjadi syair erotis . Hal ini bisa dipahami karena pada zaman Belanda, Cungking menjadi tempat ditahannya para pemberontak atau preman dari seluruh wilayah Indonesia.  Ketika itu mereka menganggap kesenian gandrung (saat itu Gandrung masih dibawakan oleh laki-laki atau Gandrung lanang) sebagai tarian hiburan. Lebih parah lagi, ketika pada 1895, Belanda memaksa mbak Midah, si perias gandrung, untuk menampilkan putrinya Semi sebagai gandrung yang menghibur (memasuki era gandrung perempuan) .

3. Pada babak ketiga novel “Shi Yu” bhiksu Tong telah menemukan Kitab Suci atau Sutera Budha dan mulai membacakan syair Sutera kepada ummatnya. Sedangkan pada Gandrung, babak ketiga, dilantunkan syair yang mendayu, mengharu biru, tanpa iringan musik, membuat suasana menjadi syahdu. Sehingga gandrung, pemanjak atau niyogo dan penonton duduk bertafakur. Dulunya, saat memasuki babak ketiga ini, nenek dan penonton lain selalu menangis tersedu-sedu. Sampai sekarang pun masih banyak penari gandrung (terutama yang senior) menganggap menari Gandrung adalah ibadah meski mereka tak mendapat penghargaan yang memadai.


Referensi:
1. Slamet Mulyana, Negara dan Tafsir Sejarah, Bharata, 1979
2. Benny S. Tionghoa dalam Pusaran Politik, Transmedia Pustaka.2007


1 komentar:

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More