oleh: Miskawi Sukirman
Didalam kehidupan manusia, setiap orang
selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya yang terbagi menjadi dua kebutuhan
material (jasmani) dan spiritual (rohani). Kebutuhan material adalah
kebutuhan manusia akan sandang, pangan dan papan. Ketika kebutuhan tersebut
merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi untuk
mempertahankan hidupnya. Akan tetapi usaha itu tidak selalu lancar
karena keterbatasan akan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh
karena itu, harus diimbangi dengan melakukan sesuatu yang bersifat spiritual.
Melalui prilaku, tingkah laku spiritual ini manusia berusaha memenuhi akan
kebutuhan rohaninya. Kebutuhan rohani atau kebutuhan spiritual ini adalah
kebutuhan non materi. Dengan terpenuhi kebutuhan spiritual ini, maka, manusia
ingin mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tercapailah tujuan
tertentu yang dikehendakinya dengan memperdalam keimanan dan ketaqwaan.
Adakalanya melalui prilaku spiritual
manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan
materi. Perilaku spiritual dalam rangka upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
ini dilakukan manusia dengan sikap manembah
kepada Tuhan Maha Esa (Tashadi, 1994;1). Oleh karena itu dalam
sikap manembah manusia
memasrakan diri kepada Ilahi. Secara konseptual manembah sebagai sikap
pasrah kepada kekuatan Ilahi merupakan wujud dari emosi keagamaam (Religius Emution). Emosi
keagamaan itu adalah suatu getaran jiwa yang menghinggapi manusia dalam
kehidupannya, meskipun getaran itu hanya berlangsung beberapa saja.
Kebutuhan spiritual inilah yang
menyebabkan segala kelakuan manusia menjadi serba religi, sehingga
menyebabkan serba keramat, baik pada kelakuan manusia itu sendiri, maupun
tempat dimana kelakuan manusia itu dilakukan untuk dilaksanakan. Ada
anggapan bahwa tempat keramat merupakan tempat bersemayamnya arwah
leluhur dan adanya kekuatan gaib yang ada pada benda tertentu yang
kebetulan tersimpan ditempat keramat tersebut. Pengertian kekuatan gaib ini
adalah segala kekuatan yang tidak kelihatan seperti rahasia alam, kekuatan yang
aneh-aneh dan sebagaiya (Poerwadarminta, 1976:288).
Banyak makam yang dianggap
gaib, keramat, membawa berkah dan selalu ramai dikunjungi peziarah. Bagi
masyarakat Jawa tradisi ziarah kubur sudah dikenal dan berkembang sejak zaman
animisme dan dinamisme. Mereka berkeyakinan bahwa roh nenek moyang
yang sudah meninggal dapat diminta pertolongan dengan cara datang ke kuburnya
untuk berziarah dengan membawa peralatan upacara ziarah seperti
bunga, dupa, mengucapkan mantra dan doa serta permintaan agar diberi
kepercayaan yang hidup diantara masyarakat.
Miskawi (2007:37), menyatakan
bahwa “makam bagi masyarakat bukan hanya sekedar mengubur mayat,
akan tetapi makam adalah tempat yang dikeramatkan karena disitulah dikuburkan
jasad orang keramat. Dan keberadaan makam juga sebagai simbol yang ada
kaitannya dengan mempertahankan konservasi sumber daya alam (SDA)”.
Di kabupaten Banyuwangi
tepatnya di Kelurahan Lateng
Kecamatan Banyuwangi terdapat sebuah makam yang dikeramatkan,
dimana tempat tersebut bersemayam tokoh lelehur yang semasa hidupnya memiliki
karisma dan dianggap oleh masyarakat sebagai penyebar agama Islam yaitu Syekh
Datuk Ibrahim. Letak keberadaan makam keramat berada di tengah-tengah pusat
kota dan keramaian. Tokoh tersebut di mitoskan oleh para kelompok
pendukungnya sebagai panutan perilaku kelompok orang agar memberikan arahan
pada kelakuan manusia. Lewat mitos ini manusia dapat mengambil bagian dari
suatu kepercayaan yang hidup dalam masyarakat.
Tempat keramat yang didukung oleh
keberadaan mitos yang karismatik tersebut menjadi tempat ziarah bagi mereka
dengan tujuan dan maksud tertentu. Ziarah ini pada hakekatnya menyadarkan
kondisi manusia sebagai pembersihan diri dan untuk memperoleh restu leluhur
yang dianggap telah melewati ujian hidup. Makam keramat Syekh Datuk Ibrahim
dipandang sebagai makam yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar Kabupaten
Banyuwangi sendiri dan di luar Kabupaten Banyuwangi, misalnya
peziarah dari Bali Loloan, Madura, Situbondo, Bondowoso, Jember dan
dari luar Jawa (Sumber : Data Kunjungan, 2010)
Pada era modern ini, kunjungan peziarah
di makam keramat Syekh Datuk Ibrahim tidak pernah sepi oleh peziarah terutama
pada hari malam jumat Legi.
Motivasi dan kepentingan mereka berbeda-beda sesuai dengan maksud dan tujuan
masing-masing, ada yang berziarah mendoakan sang tokoh, ada yang
ingin memohon berkah sehingga tempat ini dipercaya mampu
menjembatani peziarah yang menginginkan sesuatu. Anggapan dan kepercayaan
seperti itu akhirnya meluas dan memasyarakat sehingga ada
kesan bahwa keberadaan makam keramat Syekh Datuk Ibrahim
adalah tempat mencari berkah, tempat mengadu, nasib keberuntungan dan tempat
untuk mengajukan berbagai permintaan. Peziarah yang datang terdiri dari
berbagai lapisan masyarakat seperti petani, pedagang, pemuka agama setempat,
pengusaha dan bahkan pejabat.
Seiring dengan kebutuhan spritualisme,
ditengah pekiknya masalah yang dihadapi manusia kadangkala
menjadikan rasionalitas mereka tidak berdaya, sehingga timbul kecemasan,
ketakutan dan ketidak tentraman. Salah satu untuk mengatasi masalah tersebut
adalah dengan melakukan ziarah, wisata spiritual diyakini dapat menerangkan
jiwa, karena didalamnya terdapat lantunan-lantunan yang mendatangkan ketenagan,
seperti yang tercantum dalam bacaan tahlil,tahmid dan tasbih serta didukung
oleh suasana hening dilingkungan sekitarnya, menjadikan para makam wali ini
menjadi kawasan damai ditengah keributan manusia (Ruslan dan Arifin,
2007:166). Bertolak dari latar belakang diatas maka, makam keramat Syekh Datuk
Ibrahim menarik untuk diteliti karena kuatnya nilai spritualisme dan religi
bagi peziarah.
Gambaran Umum
Lingkungan Sosio-Kultural Kelurahan Lateng
Manusia sebagai mahluk biologis dan
sosial adalah sebagai pelaku sejarah yang dalam perkembangannya sangatlah
dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya dimana manusia itu berada. Lingkungan
dalam hal ini berkaitan erat dengan sekitar terjadinya keadaan geografis,
kependudukan (jumlah mata pencaharian dan pedidikan) dan kehidupan sosial
budaya yang ikut mempengaruhi terhadap tumbuhnya dan berkembangnya sejarah
budaya masyarakat dan Keberadaan geografis suatu daerah akan berpengaruh terhadap
kondisi daerah tersebut, baik kondisi sosial, kondisi ekonomi dan kondisi
budayanya, terutama terhadap ciri masyarakat tersebut (Miskawi,
2007:21). Hal tersebut akan dideskripsikan pada uraian berikut ini:
Keadaan Geografis
Kelurahan Lateng terletak di Kecamatan
Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Jarak Kelurahan
Lateng dari kota Banyuwangi kurang lebih 2,5 km, jarak ke ibu kota
Kecamatan krang lebih 2,5 km. waktu tempuh masing-masing tempat kurang lebih
0,15 jam dari kota Banyuwangi (Monografi Kelurahan Lateng, 2010)
Secara administrasi, batas wilayah
Kelurahan Lateng, dari sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan
Klatak, dari sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Temenggungan, dari
sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Singotrunan . dan dari sebelah timur
berbatasan dengan kelurahan K.P Mandar. (Monografi Kelurahan Lateng, 2010)
Kependudukan, Pendidikan dan Mata pencaharian
Jumlah
dari keseluruhan penduduk kelurahan Lateng sebanyak 8.708 jiwa (2.564 KK) yang
terdiri dari 4.278 jiwa laki-laki dan 4.426 jiwa perempuan. Adapun rincian
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1, berikut ini:
No
|
Golongan
Umur
|
Jenis
Kelamin
|
Jumlah
|
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
|||
1
|
0 - 12
bulan
|
166
|
163
|
329
|
2
|
13
bulan - 4 tahun
|
244
|
286
|
503
|
3
|
5
tahun - 6 tahun
|
239
|
246
|
485
|
4
|
7
tahun - 12 tahun
|
263
|
267
|
530
|
5
|
13
tahun - 15 tahun
|
459
|
451
|
910
|
6
|
16
tahun - 18 tahun
|
530
|
524
|
1054
|
7
|
19
tahun - 25 tahun
|
376
|
583
|
958
|
8
|
26
tahun - 35 tahun
|
374
|
321
|
695
|
9
|
36 tahun - 45tahun
|
366
|
353
|
719
|
10
|
46
tahun - 50 tahun
|
249
|
269
|
518
|
11
|
51
tahun - 60 tahun
|
259
|
268
|
527
|
12
|
61
tahun - 75 tahun
|
564
|
509
|
1073
|
13
|
Lebih
dari 75 tahun
|
190
|
186
|
376
|
Jumlah
|
4.278
|
4.426
|
8.704
|
Sumber:
Monografi kelurahan Lateng, 2010
Berdasarkan uraian jumlah penduduk
kelurahan Lateng dapat memberikan gambaran keberadaan makam Keramat Syekh Datuk
Ibrahim, terutama penduduk yang usianya 61tahun sampai 75 tahun keatas. Pada
tingkat usia tersebut biasanya lebih mempertahankan hasil budaya dan tradisi
leluhurnya, sedangkan pada penduduk yang berusia 16-18 tahun lebih menerimah
dan terpengaruh budaya yang masuk ke wilayah tersebut. Hal ini diperjelas oleh
Miskawi (2007), bahwa umur yang melebihi 60 tahun keatas tergolong orang keramat
dan termasuk keturunan orang yang mempunyai karismatik. Perbandingnya
kepedulian masyarakat melestarikan makam Syekh Datuk Ibrahim layak untuk
dipertahankan. Asta merupakan benda cagar budaya yang memiliki keunikan, sejak
dulu sampai sekarang yang harus tetap dilestarikan keberadaannya.
Komposisi
penduduk menurut agama di kelurahan Lateng, tabel 2 sebagai berikut:
Agama
|
Jumlah
penduduk dalam Prosentase
|
Islam
|
95%
|
Non-Islam
|
5 %
|
Data:
monografi Kelurahan Lateng yang sudah diolah, 2010
Berdasarkan tabel 2, menunjukkan agama
Islam merupakan agama mayoritas penduduk kelurahan Lateng dengan prosentase
95% jiwa dari keseluruhan jumlah penduduk kelurahan Lateng.
Sedangkan seluruh agama kecuali agama Islam diprosentasekan 5%. Kelurahan
lateng banyak penduduk yang berasal dari keturunan Arab. Hal ini juga didukung
oleh banyaknya prasarana keagaamaan bagi Umat muslim misalnya Masjid sebanyak 5
bangunan dan langgar atau Surau sebanyak 20 Bangunan sedangkan Prasarana
keagamaan yang lain seperti Gereja, Vihara dan Pura tidak terdapat sama sekali
walaupun Banyuwangi ada kaitan erat dan Jarak cukup dekat dengan Bali Yang
mayoritas beragama Hindu dan Budha. Kegiatan keagamaan rutin dilaksanakan mulai
dari Jumatan,Pengajian Umum, Pengajian Ibu-ibu, Pengajian anak-anak, Pengajian
Remaja, Yasinan dan peringatan hari-hari Besar agama. (Data Kelurahan Lateng
tahun 2010).
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa hampir seluruh penduduk Lateng beragama Islam. Penduduk asli
umumnya pemeluk agama Islam yang taat. Hampir semua lapisan memeluk agama Islam
dengan taat, namun mereka belum meninggalkan bentuk-bentuk kepercayaan lama.
Jadi selalu muncul tata nilai dan tata laku yang berdasarkan kepercayaan lama
yang telah berkar sebelum agama Islam hidup subur di daerah ini. Misalnya
masyarakat Lateng masih percaya keberadaan makam yaitu kuburan yang
dikeramatkan oleh warga suatu wilayah karena diyakini dapat memberikan kepada
seluruh warga diwilayah itu. Roh leluhur penghuni makam merupakan tokoh yang
masa hidupnya di pandang mmpunyai kesaktian dan banyak berjasa bagi seluruh
masyarakat.
Mereka percaya pada kekuatan gaib
terutama kekuatan yang berada pada benda-benda yang dianggap sakti dan keramat.
Mereka amat menghormati benda-benda peninggalan nenek moyang atau pusaka
peninggalan leluhurnya dan juga makam para leluhur dianggap suci dan keramat
sehingga harus kerap diziarahi.
Mata
pencaharian penduduk kelurahan Lateng, dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini:
No
|
Jenis
Pekerjaan/ Mata pencaharian
|
Jumlah
|
1
|
PNS
|
125
|
|
Kelurahan
|
3
|
|
TNI
|
16
|
|
Polri
|
8
|
|
Pensiun
|
650
|
|
Pegawai
Swasta
|
871
|
|
Jasa
angkutan dan transportasi
|
472
|
|
Jasa
perdagangan
|
10
|
|
Jasa
penginapan
|
2
|
|
Jasa
keterampilan
|
502
|
Data:
monografi Kelurahan Lateng yang sudah diolah, 2010
Dilihat dari mata pencaharian penduduk kelurahan
Lateng, dapat dijelaskan bahwa mayoritas mata pencaharian penduduk
berprofesi sebagai pegawai swasta. Sistem kerja Pegawai Swasta sangat
mempengaruhi penghasilannya, misalnya jika tidak kerja walau hari libur
(tanggal Merah) tentu tidak mendapatkan hal yang sifatnya materi pula dan
sebaliknya sedangkan Pegawai Negeri yang penghasilan tiap bulannya
sifatnya pasti walau hari libur. Sehingga dari sini pegawai swasta harus
bekerja ekstra. Hal tersebut dijelaskan oleh salah satu peziarah yang berasal dari
Jember dengan tujuan agar dipermudah riskinya karena bagaimanapun sebagai
manusia harus berusaha salah satunya berziarah ke makam leluhur (hasil
wawancara, 21 Desember 2009). Pendapat peziarah tersebut lebih diperjelas
oleh Rato (2003:138) bahwa Dalam kehidupan yang penuh dengan ketidak
pastian ini, manusia cenderung mencari ketenangan dan kepastian
untuk menghadap kesulitan yang dihadapinya. Salah satu sumber
ketenangan itu yang diperkirakan menguasai dan mengatur atau paling tidak dapat
mempengruhi kehidupan manusia tentang hal gaib, baik tuhan dalam agama
masing-masing maupun kekuatan lain seperti roh nenek moyang atau kekuatan alam
dan bangsa halus lainnya.
Tingkat
Pendidikan penduduk kelurahan Lateng, dapat dilihat pada tabel 4
berikut ini:
No
|
Jenis
Pekerjaan/ Mata pencaharian
|
Jumlah
|
1
|
PNS
|
125
|
|
Kelurahan
|
3
|
|
TNI
|
16
|
|
Polri
|
8
|
|
Pensiun
|
650
|
|
Pegawai
Swasta
|
871
|
|
Jasa
angkutan dan transportasi
|
472
|
|
Jasa
perdagangan
|
10
|
|
Jasa
penginapan
|
2
|
|
Jasa
keterampilan
|
502
|
Data:
monografi Kelurahan Lateng yang sudah diolah, 2010
Dilihat dari tingkat pendidikannya,
masyarakat Lateng termasuk maju, karena sampai sekarang masih memperhatikan
pendidikan. Penduduk yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) lebih,
hal ini membuktikan bahwa pendidikan lebih penting. Anak-anak usia sekolah
banyak memilih sekolah dari pada memilih membantu orang tuanaya. Kesadaran
masyarakat untuk menyekolahkan anaknya sangat tinggi. Mereka beranggapan dengan
bekal yang tinggi akan mampu bersaing di era globalisasi ini.
Tingkat pendidikan yang tinggi
berpengaruh pada perkembangan pola pikir masyarakat. Meskipun masyarakat
tergolong masyarakat yang maju mereka tetap tidak mengabaikan tradisi yang ada.
Mereka masih berpedoman pada nilai-nilai budaya dan tradisi yanga ada yaitu suatu
bentuk penghormatan kepada leluhur yang harus tetap dijaga yaitu
penghormatan Bhupa’,
Bhabbu’,Guru, Rato (Bapak, Ibu, Guru dan Raja).
Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya masyarakat
Lateng tampak begitu tenang dan damai, walau menghadapi kehidupan di era
globalisasi ini. Kehidupan sosial budaya dalam bertetangga terjalin erat dan
saling membantu satu sama yang lainnya. Sikap saling membantu terwujud dalam
bentuk gotong royong yang lebih mementingkan kehidupan bersama. Gotong royong
yang terbentuk ketetanggaan misalnya dalam hajatan, kematian, pembuatan dan
perbaikan rumah dan lain-lain. Sedangkan gotong royang yang bersifat umum
misalnya perbaikan jalan, pembersihan god serta pembersihan makam. Untuk
meningkatkan rasa kegotongroyongan ini dibuktikan banyak
perkumpulau-perkumpulan yang bernuansa religi seperti yasinan, arisan,
muslimat, fatayat dan aswaja.dll.
Kehidupan Religi
Penduduk kelurahan Lateng mayoritas
beragama Islam yang taat. Dengan demikian pula peran ulama tampak lebih
menonjol. Meskipun masyarakat Lateng memeluk agama Islam dengan taat, namun
mereka tidak semuanya meninggalkan bentuk-bentuk kepercayaan lama. Jadi selalu
muncul tata nilai dan tata laku yang berdasarkan kepercayaan lama yang telah
berakat di daerah ini. Masyarakat Lateng masih percaya makam keramat yaitu
kuburan yang dikeramatkan oleh warga suatu wilayah karena diyakini dapat
memberikan perlindungan dan berjasa kepada seluruh warga di wilayah itu. Roh
leluhur penghuni makam biasanya merupakan tokoh masyarakat yang pada masa
hidupnya dipandang mempunyai kesaktian dan banyak berjasa bagi kehidupan
asyarakat.
Mereka percaya pada kekuatan gaib
terutama kekuatan yang berada pada benda-benda yang dianggap sakti dan keramat.
masyarakat sangat menghormati benda-benda peninggalan nenek moyang atau pusaka
peninggalan leluhurnya. Seperti keris, tombak dan pedang pusaka yang dianggap
memiliki kesaktian, juga makam para leluhur diangga suci dan keramat
sehingga harus kerap diziarahi.
Dalam kehidupan religi, masyarakat
Lateng didasari adanya keyakinan yang kuat terhadap roh leluhurnya, walaupun
mayoritas beragama Islam, hal ini masyarakat tergolong NU (Nahdlatul Ulama).
Islam menurut Greetz (1983:172-173) terbagi menjadi tiga yaitu abangan, santri dan priyai. Pengertian santri adalah orang yang
mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap doktrin Islam dan bersikap kurang
toleran terhadap kepercayaan animisme, dinamisme, praktik kejawen serta
mempertahankan Islam pada kode etik yang lebih tinggi, pada umumnya berhubungan
dengan unsur-unsur pedagang. Tradisi keagamaan santri adalah pelaksanaan yang
cermat dan teratur terhadap pribadatan Islam (sholat, puasa dan naik haji).
Abangan adalah orang yang mengabaikan doktrin
Islam, terpesoan oleh detail keupacaraan tetapi masih toleran terhadap
kepercayaan agama. Adapun tradisi keagamaan abangan tampak pada
melaksanakan selametan.
Jika dikaitkan dengan kepercayan masyarakat tentang keberadaan mahluk halus dan
alam gaib, maka orang-orang abangan
adalah orang yang percaya terhadap mistik, para santri tidak
percaya karena hal-hal yang berbau mistik adalah bagian dari syirik, sedangkan priyai
ini menitik beratkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan birokrasi yang
pada umumnya merupakan golongan bangsawan berpanggat tinggi dan rendah.
Berdasarkan kenyataan yang ada,
masyarakat Lateng tergolong masyarkat NU- abangan. Pandangan tersebut, merujuk pada
pendapatnya Syam (2005:113) bahwa wong NU adalah sekelompok orang yang mengaku
dirinya sebagai wong
ahlusunnah wal jama’ah dengan menekankan pengamalan keagamaan atas
tradisi keragaman yang lalu dan melakukan berbagai tradisi keagamaan yang
bersentuhan dengan tradisi lokal. Misalnya nyekar (ziarah) untuk menghormati leluhurnya.
Tradisi Islam lokal tersebut merupakan jalinan kerjasama antar berbagai agen
dalam penggolongan sosio-religio-kultural yang berbeda. Hal ini terbukti dalam
melakukan ziarah dalam doanya banyak menggunakan doa-doa kitab suci Al-Quran.
Sebenarnya istilah Geertz tentang
agama abangan tidak
disukai oleh para penganjur agama. Istilah ini, secara tidak langsung memberi
peluang terjadinnya perkembangan sempalan (friksi agama) dan gejala
dereligisasi. Padahal, semua penganjur agama menghendaki agar umat beragama
benar-benar menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang diyakini dengan sungguh-sungguh
dan bersih.
Perlu diketahui bersama, orang Jawa
pada umumnya memiliki keterbukaan emosi dan kultur yang tinggi. Mereka bisa
menerima apapun yang datang, sekaligus menyeleksi dan meramu sedemikian rupa
sehingga menghasilkan model baru yang sedemikia rupa sehingga menhasilkan model
baru yang dianggap tepat. Sejumlah organisasi keagamaan yang ada di Indonesia
juga terpecah menjadi dua: mentoleris
(mengakomudasi) dan dan tidak mentoleris.
Sekedar menyebut nama Nahdlatul ulama (NU) disebut-sbut sebagai kelompok Islam
yang mengakomudasi agama atau tadisi Jawa, sementara Muhammadiyah yang berjuang
demi tegaknya kemurnian Islam, dikenal dengan keyakinan kurang mengakomudasi
keyakinan dan tradisi kejawen.
Hal tersebut di perkuat oleh Miskawi
(dalam Budiyono, 2007) bahwa keyakinan pra Islam tidak semua ditolak oleh agama
Islam. Seperti tradisi ziarah ke makam Syekh Datuk Ibrahim sebagai suatu
perwujudan dalam menyeimbangkan kepentingan lahir dan batin yang secara
konsepsional dan keselarasan antara keyakinan asli masyarakat kebonagung dengan
konsep dasar Islam, sehingga menghasilkan sinkretisme budaya antara unsur-unsur
keyakinan pra Islam dengan Islam. Hal ini tampak dianggap sakral oleh
masyarakat setempat karena adanya sebuah keyakinan dan penghormatan pada
leluhur atau nenek moyang yang sudah meninggal.
Kenyataan historis menunjukkan bahwa
jauh sebelum Islam masuk tersebar di tanah Jawa, masyarakat Jawa sudah terlebih
dahulu ”digarap” oleh kepercayaan atau agama Hindu-Budha. Namun, sejak dahulu
inti dari pusat segala kepercayaan Jawa adalah magis-mistik (Jong,1976:12).
Ketika Islam masuk dan diterimah oleh masyarakat Jawa pada sekitar abad ke 15
Masehi terjadilah sebuah perubahan yang tampak adalah sebuah hasil asimilasi
antara kepercayaan Jawa asli, Hindu-Budha dan Islam. Asimilasi inilah yang pada
akhirnya melahirkan dan membesarkan agama kebatinan.
Jika dikaitkan dengan kehidupan religi,
masyarakat Lateng masih memegang teguh yang diwariskan oleh leluhurnya yang
diwujukkan dalam pelaksanaan Nyekar.
Dalam setiap upacara yang diselenggarakan tampak sesuatu yang
dianggap sakral, suci dan berbeda dengan yang lain. Diantara ciri-ciri yang
sakral itu adalah sebuah keyainan, ritus, misteri, penghormatan kepada nenek
moyang atau leluhur yang sudah meninggal dan supranatural (Syam, 2005:245-247).
Syekh Datuk Ibrahim
Dilihat dari silsilahnya Syekh Datuk
Ibrahim adalah bangsawan Timur Tengah dari keturunan Bani Hasyim. Sayyid
Datuk Abdurahim Bauzir adalah ulama dari Arab. Pertama ia menginjakkan
kaki di bumi Nusantara tahun 1770-an. Partama datang, ia memilih Blambangan
sebagai daerah transit. Kemudian ia melanjutkan siarnya ke arah timur, hingga
di perkampungan Melayu, Loloan. (wawancara dengan juru kunci, 16 Agustus, 2010)
Syekh Datuk Ibrahim adalah Wali Besar
yang berperan dalam penyebaran Islam di kota Banyuwangi dan sekitarnya serta
penyebaran ajaran Islam di Loloan, Jembrana, Bali. Di tempat tersebut, Datuk
Abdurahim menikahi seorang gadis setempat, Zaenab, dan memiliki putra. Putra
pertama Datuk Abdurahim, Syekh Sayyid Bakar Bauzir, meninggal di Loloan dan
dimakamkan di sana. Beberapa tahun kemudian, istrinya, Zaenab, menyusul
berpulang. Sejak itu, Datuk memilih kembali ke Banyuwangi, bertempat tinggal di
perkampungan Arab di Lateng.
Di Banyuwangi, Datuk meneruskan
menyebarkan Islam, mengajak putra keduanya, Datuk Ahmad, dan seorang sahabat
karibnya, Syekh Hasan. Penyebaran agama Islam dilakukannya hingga tutup usia
tahun 1876. Datuk wafat pada umur 86 tahunan. Jenazahnya dimakamkan di
pemakaman umum warga Arab di Lateng. Makam yang dikeramatkan oleh masyarakat
tersebut berada di Kelurahan Lateng, Banyuwangi, Jawa Timur, merupakan tempat
yang paling banyak dituju oleh sebagian umat muslim Banyuwangi, Jawa Timur dan
Bali. Sebagian umat muslim menyakralkan makam ini sampai sekarang.
Berdasarkan keyakinan masyarakat Banyak
karomah yang dimiliki oleh Sayyid Datuk Abdurahim Bauzir diantaranya
menyembuhkan orang-orang sakit dan mendoakan orang-orang yang mempunyai hajat
dan terkabul hajatnya. Makam kuno di pinggir Jalan Basuki Rahmat dalam
mengelolanya dibentuk sebuah yayasan. Pada umumnya pengunjung biasanya
menyerahkan sumbangan sukarela usai berdoa di makam. Hasil sumbangan ini
digunakan merawat makam dan dibagikan kepada fakir miskin dan anak-anak yatim
untuk melestarikan kebiasaan Sayyid Datuk Abdurahim sewaktu Hidup.
Tidak menutup kemungkinan tokoh
tersebut juga memiliki peran yang cukup penting dalam perkembangan
Islam di Banyuwangi. Disisi lain, di Kabupaten Banyuwangi , Islam telah
menunjukkan adanya suatu perkembangan yang sangat pesat, apabila
dilihat jumlah penduduknya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari peran tokoh
penyebar Islam, berkenaan dengan hal tersebut.
Mengenai gambaran tentang kompleks
Makam Datuk Ibrahim, peneliti memberikan penekanan pada gambaran sekitar
kompleks itu sendiri mulai dari keunikan dan fungsinya.
Menurut Syam (2005: 139-140) menyatakan
bahwa makam bagi sebagian masyarakat yang mempercayainya bukan hanya sekedar
tempat menyimpan mayat, akan tetapi adalah tempat yang keramat karena disitu
dikuburkan jasad orang keramat. Jasat orang keramat itu tidak sebagaimana jasad
orang kebanyakan karena diyakini bahwa jasadnya tidak akan hancur dimakan oleh
binatang tanah seperti cacing tanah, ulat-ulat pemangsa jasad manusia dan
sebagainya akan tetapi terjaga dari serangan berbagai binatangterseut karena
kekuatan magis yang tetap dimilikinyameskipun meninggal. Selain jasad wali itu tidak rusak, roh
para wali juga
meiliki kekuatan untuk tetap mendatangi makamnya jika makam tersebut diziarahi
orang. Jadi, roh para wali itu mengetahui siapa saja yang databg kemakamnya dan
mendengarkan bagaimana doanya. Sebagai orang yang sangat dekat dengan Allah,
para wali bisa menjadi perantara agar doanya cepat sampai kepada Allah. Memang,
tak semua yang menziarahi makan itu ”benar” tujuannya, sebab ada diantara
mereka yang meminta kepada roh para wali untuk mengabulkan permohonannya.
Bahkan ada juga diantara mereka yang mengambil barang tertentu untuk dibawa
pulang, bisa air, tanah atau kayu yang ada dimakam itu. ”sebagai jimat”.
Makam Syekh Datuk Ibrahim agak
sederhana dan ditutup dengan bangunan. Di sekeliling makam terdapat tempat yang
disediakan untuk berziarah, termasuk lantai yang cukup besar yang dipasang
dengan ubin, tempat buku lengkap dengan buku-buku doa dan Al-
Quran. Bangunan yang terdapat di halaman depan makam sebuah pendopo
yang dijaga juru kuncinya, beberapa warung makam, penjual bunga dan minyak
pengharum serta kios-kios yang menjual souvenir khas Banyuwangi
serta bangunan mosholla khusus pria dan khusus wanita. Dari sini memang
benar dan masuk akal jika keberadaan Makam Keramat dapat memberikan nilai
ekonomi bagi masyarakat kecil. Mereka bisa memanfaatkan hari-hari tertentu
misalnya kamis malam (malam Jumat) untu berjualan mulai menjual Es, menjual Kue
dan menjual bunga. Hal tersebut juga dipaparkan oleh Mbak Ifa (salah satu
menjual Bunga) yang dilakukan mulai saat kecil hingga kini berumur 39 tahun.
Dan uniknya dari sekian penjual bunga yang berada dipintu masuk makan adalah
satu keluarga.
Peran juru kunci bertanggung Jawab atas
pemeliharaan makamnya sehingga kondisi makam tampak terawat dengan baik,
hubungan dengan peziarah serta administrasi dan pejagaan makamnya.
Juru kunci, seringkali menerima peziarah yang mempunyai maksud dan tujuan
tertentu di makam Syekh Datuk Ibrahim ini.
Masyarakat sekitar tampaknya masih
menganggap makam Syekh Datuk Ibrahim ini. Petunjuk hal ini dapat diketahui dari
orang-orang yang sering datang ketempat itu dengan maksud dan tujuan tertentu
sesuai dengan keinginan mereka. Para pengunjung yang datang tidak
hanya dari satu lapisan masyarakat saja tetapi berbagai lapisan
masyarakat mulai dari pejabat, pengusaha, pegawai biasa, kyai dan masyarakat kebanyakan
baik dari daerah kabupaten Banyuwangi bahkan dari luar Kabupaten Banyuwangi.
Di sekitar makam Syekh Datuk Ibrahim
ada dua makam kuno lagi yang disakralkan. Dua makam anak kedua Datuk dan
sahabat karibnya itu berdampingan. Peziarah biasanya membludak ketika malam
Jumat. Puncaknya pada perayaan kelahiran Datuk tiap minggu ketiga bulan Rajab. Peziarah yang juga
datang dari luar kota Banyuwangi, seperti Lampung, Jakarta, dan Bali.
Suatu hal yang menjadi daya
tarik masyarakat untuk pergi ke makam Syekh Datuk Ibrahim adalah
melakukan ziarah, karena disini makam dikeramatkan dan dipercaya mampu untuk
menjembatani mereka yang menginginkan sesuatu. Oleh
karena itu, berbagai lapisan masyarakat berbondong-bondong mengunjungi makam
ini sehingga muncul pandangan yang berbeda-beda dari peziarah bahkan dari
masyarakat sendiri terhadap makam Syekh Datuk Ibrahim.
Sebagai wali penting dalam proses
Islamisasi di Jawa khususnya di Banyuwangi makamnya banyak dikunjungi para
peziarah. Mereka datang dari berbagai status dan strata sosial baik dari
Madura, Jember, Situbondo, bondowoso dan masyarakat luar Jawa yang mempunyai
ikatan secara emosional (Dat Kunjungan Tahun, 2009).
Setiap peziarah yang datang ke makam
Syekh Datuk Ibrahim dalam dirinya diperkuat oleh emosi keagamaan. Mereka
berkomonikasi dengan yang dimakamkan untuk mengantarkan permohonan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, dari para peziarah sendiri
muncul berbagai pandangan tentang makam Syekh Datuk Ibrahim. Pandangan tersebut
tergantung maksud dan tujuan peziarah ke makam Syekh Datuk Ibrahim. Hal ini
menyebabkan pandangan tertentu sangatlah bervariasi yang dikategorikan
menjadi tiga pandangan sebagai berikut: (1) pandangan yang
berkenaan dengan kehidupan psikologis, (2) pandangan yang berkaitan dengan
kebutuhan ekonomis dan (3) pandangan yang berkaitan dengan spiritual dan
religi.
Pandangan peziarah yang datang ke makam
Syekh Datuk Ibrahim untuk mendapatkan harapan merupakan pandangan yang
dikategorikan pandangan psikologis, spiritual dan religi. Dalam hal ini
peziarah yang datang menginginkan ketenangan hidup dan hatinya tidak selalu
merasa was-was
(tidak tenang). Peziarah yang datang pada umumnya berdoa untuk
memohon agar diberi keselamatan lahir dan batin dan selain itu
juga ingin mendapatkan ketenangan agar keluarganya tetap utuh (hasil
wawancara, 21 Desember 2009).
Ada juga mereka yang datang ke makam
Syekh Datuk Ibrahim untuk memperbaiki hubungan batin setelah lama tidak datang
ke makam Syekh Datuk Ibrahim. Peziarah merasa setelah lama tidak datang kemakam
Syekh Datuk Ibrahim hidupnya menjadi tidak tenang (hasil wawancara, 23 Desember
2009).
Berdasarkan penuturan pendapat tersebut
menunjukkan adanya ikatan emosional antara peziarah dengan makam Syekh Datuk
Ibrahim, sehingga peziarah akan merasa bahwa makam Syekh Datuk
Ibrahim telah memberikan keselamatan dalam kehidupannya. Namun makam Syekh
Datuk Ibrahim juga bisa mencelakakan jika tidak memenuhi kewajibanya untuk
tidak datang, maka berdampak kepada kehidupannya menjadi tidak tenang pula. Dengan
adanya perasaan tenang setelah datang ke makam Syekh Datuk
Ibrahim sehingga muncul pandangan bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim
merupakan tempat memperoleh ketenangan dan keselamatan jasmani.
Alasan yang sekiranya mempu mendukung pandangan ini adalah keyakinan dan
kepercayaan yang didukung oleh alam pikiran masyarakat yang selalu hendak
menjaga keseimbangan dan keselarasan dalam hidup, baik dalam hubungannya dengan
kehidupan rohani atau yang bersifat spiritual (vertikal) maupun kehidupan
sosial (horisontal).
Dari pandangan ini dapat diketahui
bahwa manusia perlu keselamatan dan ketenangan dalam hidup. Keselamatan ini
bisa meliputi keselamatan dalam rohani dan jasmani. Kesempurnaan hidup dalam
arti tercukupi segala kebutuhan memerlukan selamat. Pengertian selamat di dunia
maupun diakhirat yakni setelah manusia itu mati. Manusia dalam keadaan selamat
bisa mampu menciptakan keseimbangan dan keselarasan dengan lingkungan, baik
lingkungan spritial dan sosial.
Para peziarah juga berpendapat bahwa
peziarah merupakan tempat untuk meminta sesuatu. Hal ini dikategorikan sebagai
pandangan bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim sebagai tempat untuk meminta sesuatu.
Hal ini sesuai dengan pandangan yang berkaitan ekonomis. Orang yang
menginginkan sesuatu berkenaan dengan hidupnya dapat meminta tolong dengan
datang ke makam Syekh Datuk Ibrahim agar usahanya dapat berhasil dan lancar.
Pandapat ini dapat di ungkapkan lewat kasus pak Buhairi, seorang
petani dari Glenmore. Ia datang berombongan bersama para tetangganya. Maksud kedatangannya
adalah memohon pertolongan agar tanaman-tanamannya tidak diserang hama dan juga
warung pupuknya banyak pembeli. Dia datang ke makam Syekh Datuk Ibrahim hanya
sebagai perantara untuk meminta pertolongan kepada Allah, SWT (hasil wawancara,
21 Desember 2009).
Sementara itu bapak Jurkoni’, seorang
nelayan dari Muncar. Ia memiliki pandangan tentang makam Syekh Datuk Ibrahim,
yang menurutnya adalah tempat yang tepat untuk meminta pertolongan agar diberi
keselamatan dan kesuksesan dalam pekerjaannya, terutama kalau berlayar bisa
mendapatkan ikan yang banyak (hasil wawancara, 26 Desember 2009).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa setelah dari makam Syekh Datuk Ibrahim mereka merasa usahanya lebih
berhasil dan seandainya tidak datang, belum tentu usahanya seperti yang mereka
harapkan.
Selain pandangan yang bersifat materiil
diatas, peziarah juga datang untuk mencukupi kebutuhan spiritual, yaitu dengan
mendoakan leluhurnya agar selalu diberi tempat di sisi-Nya. Pada umumnya hal
ini lebih banyak dikemukakan oleh peziarah yang lanjut usia atau mereka yang
tidak lagi berfikir tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan
keduniawaian.
Pandangan yang mengatakan bahwa makam
Syekh Datuk Ibrahim adalah tempat yang keramat, suci (sakral) dan tempat untuk
mendoakan arwah leluhur yang telah meninggal dapat dikategorikan dalam
pandangan yang mengutamakam pada kehidupan spiritual. Paziarah yang datang
hanya untuk berdoa di makam Syekh Datuk Ibrahim karena merasa tempat suci dan
sakral, serta sepi sehingga dengan khusuk berdoa ditempat itu. Seperti yang
dituturkan oleh bapak Mutakim, seorang guru dari Kelurahan pakel kecamatan
glagah. Ia tidak setiap saat kesini, tapi kalau ada hari libur dia pasti ke
makam Syekh Datuk Ibrahim. Syekh Datuk Ibrahim adalah orang yang suci jadi
pantas kalau ia berdoa kepada dirinya sendiri maupun doa kepada sang
tokoh dan Syekh Datuk Ibrahim merupakan tokoh yang banyak mempunyai kelebihan
(wawancara, 18 desember 2009).
Dari uraian diatas dapat dijelaskan
bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim dianggap sebagai tempat yang suci dan keramat.
Kekeramatan dan kesucian makam Syekh Datuk Ibrahim dikaitkan
dengan adanya makam seorang tokoh yang dianggap mempunyai kelebihan
dari pada manusia biasa sehingga setiap saat mereka datang ketempat makam Syekh
Datuk Ibrahim.
Adanya kepercayaan itu, menyebabkan
masyarakat percaya bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim dapat menjembatani hubungan
antara manusia dengan Tuhan. Menurut R. Hertz bahwa kematiam merupakan suatu
proses peralihan atau inisiasi dari suatu kedudukan ke kedudukan yang lain, dan
dalam kedudukan mati ini. Di anggap sebagai mahluk muharrah ( suci atau
sakral) yang sedang mengalami proses peralihan dari kedudukanya dari alam
profan ke alam sakral (Mulder,1989:36). Dalam kedudukannya sakral ini roh berwujud
menjadi roh halus dan mempengaruhi hidup manusia. Perannya sebagai roh halus
dapat menjadi perantara manusia dengan Tuhan (Poncowati, 2000:60).
Namun dalam kenyatannya yang dapat kita
jumpai, pandangan masyarakat peziarah lebih banyak menunjukkan bahwa makam
Syekh Datuk Ibrahim adalah tempat untuk meminta sesuatu dan tempat untuk
menumbuhkan harapan hidup lebih baik dari sebelumnya.pandangan inilah yang
merupakan tantangan pengelolah makam dalam hal ini adalah keluarga juru kunci
agar tidak menyimpang dari ajaran agama Islam.
Pada umumnya pandangan terhadap leluhur
yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat apalagi bergerak
dibidang agama, maka masyarakat ini akan melihat kelebihan-kelebihan yang masih
terpancar walaupun sang tokoh sudah meninggal. Hal ini trbukti bahwa makam
tidak hanya sebagai tempat untuk memakamkan tokoh yang telah meninggal tetapi
juga sebagai tempat yang dianggap sakral, suci ataupun keramat sehingga tempat
ini digunakan untuk meminta sesuatu.
Tentunya pandangan masyarakat luar dan
pandangan masyarakat sekitar mempunyai pandangan yang berbeda, tetapi semuanya
tergantung dari kepentingan mereka berkaitan dengan keberadaan makam Syekh
Datuk Ibrahim, disamping itu juga kepercayaan yang beraneka ragam terhadap
kekeramatan makam Syekh Datuk Ibrahim.
Motivasi peziarah datang ke makam
keramat Syekh Datuk Ibrahim tentunya erat dengan motivasi atau tujuan para
peziarah itu sendiri untuk mengunjungi tempat-tempat keramat. Diantara peziarah
itu tentunya mempunyai motivasi yang berbeda-beda, tergantung apa
yang diminta dan apa pula kepentingannya. Motivasi peziarah itu
antara lain untuk meminta berkah,
memulihkan hubungan dengan makam Syekh Datuk Ibrahim, mengucapkan rasa syukur
karena yang telah diinginkan telah berhasil, untuk mengubah nasib dan meminta
agar usahanya lancar. Niat para peziarah itu ada karena kemaunnya sendiri,
tetapi ada yang diajak oleh temannya, tetangganya dan saudaranya yang telah
berhasil.
Menurut Syam dalam Musthafa Al-Maraghi (2005: 156), Berkah dalam khazanah istilah
Islam berasal dari kata barakah
(kata kerja, fi’il Madhi)yang
berarti memperoleh karunia dari kebaikan. Barakah adalah kata benda (isim) dan nilai tambah (ziyadah). Nilai tambah
tidak disebut barakah jika
tidak diikuti dengan kebahagiaan, ketenaganga dan kebaikan. Misalnya seseorang
memperoleh tambahan rizki tersebut, maka tidak bisa dinyatakan memperoleh barakah atau berkah. Dengan demikian
untuk untuk memahami nilai tambah itu berkah dan tidak
tergantung dari apakah nilai tambah tersebut membawa serta
kebahagiaan atau tidak. Dari konteks inilah, barakah berubah menjadi berkah, yang
memiliki banyak arti, misalnya berkah dari kesembuhan penyakit,
terselesainya problema dari individu keluarga tau masyarakat, memperoleh
kenikmatan dalam kehidupan, seperti memperoleh jodoh, lulus ujian, usahanya
berhasil, dan sebagainya.
Pengunjung yang berziarah ke makam
Syekh Datuk Ibrahim dengan niat lain, misalnya untuk meminta keselamatan, ingin
mendekatkan diri kepada Allah, mencari ketenangan, ingin mendapatkan kedudukan,
ingin mendapatkan kesaktian dan bahkan ada yang tidak punya niatan apapun.
Keselamatan menurut pandangan peziarah
ke makam tidaklah terbatas pada keselamatan fisik, tetapi juga
keselamatan dalam artian yang menyangkut kehidupan keluarga (keutuhan rumah
tangga) dan keselamatan dalam tugas pekerjaan. Untuk memperoleh keselamatan ini
perlu diwujudkan keseimbangan atau keselarasan hubungan, baik secara vertikal
(spiritual) maupun horisontal.
Keselamatan hubungan secara vertikal
(spiritual) itu adalah denga Tuhan sedangkan keselarasan horisontal (sosial)
adalah hubungan antara manusia dengan sesama mahluk hidup dalam lingkungan
sosial yang sama dan alam semesta. Dengan terciptanya keselarasan hubungan ini,
maka manusia akan memperoleh keselamatan dalam hidupnya, karena yang diutamakam
adalah keselamatannya.
Selain motivasi yang menyebabkan datang
ke Makam Syekh Datuk Ibrahim, Tujuan masyarakat melakukan ziarah ke makam Syekh
Datuk Ibrahim ini adalah untuk berdoa danbertawashul,
serta sebagai media untuk mengingat kematian dan memberi
penghormatan kepada leluhur. Syekh Datuk Ibrahim adalah orang penting yang ikut
andil dalam perkembangan Kabupaten Banyuwangi.
Motivasi lain yang dapat diungkap dari
para peziarah adalah mereka yang berkunjung ke makam Syekh Datuk Ibrahim
sekedar untuk mengicapkan rasa syukur karena yang telah diinginkan telah
terwujud. Mereka merasa mempunyai kewajiban
untuk berterimah kasih di makam Syekh Datuk Ibrahim
karena telah memberi sesuatu yang telah diinginkan. Wujud rasa
terimah kasih mereka diwujudkan dengan mengadakan selametan dan memberikan
sumbangan kepada pengelolah.
Seperti yang dituturkan oleh bapak
Burahwi dari Rogojampi, beberapa waktu lalu anaknya sakit parah dan banyak
menhabiskan uang untuk berobat. Kemudian dia datang berziarah ke makam Syekh
Datuk Ibrahim dan bernadzar
, kalu anaknya sembuh ia akan berziarah lagi makam Syekh Datuk
Ibrahim dan ia juga punya niat untuk mengadakan selametan dan meberikan
sumbangan pada makam. Ketika waktu diwawancarai oleh peneliti ini adalah yang
ketiga kalinya berziarah karena apa yang di harapkan terkabul dan anaknya
sekarang sembuh (wawancara, 24 desember 2009).
Adanya pandangan yang kemudian
memotivasi para peziarah datang makam Syekh Datuk Ibrahim untuk meminta sesuatu
adalah kenyataan yang ada dalam niat hati para peziarah. Pandangan yang
diwujudkan dengan kenyataan motivasi inilah yang kemudian
memberikan kesan bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim temapat untuk meminta
sesuatu. Diantaranya adalah peziarah yang mempunyai niat lain,
misalnya untuk meminta keselamatan dan ketenangan hidup untuk mengungkap kan
rasa syukur kepada Tuhan karena telah bebas atau dapat mengatasi
kesulitan hidup yang baru dialami dengan perantara yang disana.
DAFTAR PUSTAKA
Al-
albani. 1991. Tuntunan
Lengkap Mengurus Jenasah. Jakarta: Gema Insani Press.
Arikunto,
S. 2002. Prosedur
Penelitian: Suatu Pendekatan dan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Chaedwic,
Dkk.1991. Metode Ilmu
Pengetahuan Sosial. Semarang: KIP Semarang.
Christriyati
Ariani. “Motivasi Peziarah
di Makam Panembahan Bodo Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul”,
dalam Patra-Widya.
Vol. 3 No. 1, Maret 2002. (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional), hal. 152.
Jonge,
d.1989. Agama,
Kebudayaan dan Ekonomi. Jakarta: RaJawali Press.
Koentjaraningrat
(Ed).1997. Metode-Metode
Dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Miskawi.
2007. Tradisi Nyadar
Sebagai Wisata Budaya Di Kabupaten Sumenep. Skripsi (tidak
dipublikasikan), Jember: FKIP Universitas Jember.
Moleong.
L. 2000. Metodelogi
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pt. Remaja Rosdakarya.
Mulyana
dan Rahmat. 1990. Komunikasi
Antar Budaya. Bandung: Remaja Karya.
Poerwadarminta,
W.J.S. 1976. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta; PN. Balai pustaka.
________.
1939. Baoesastra Djawa. .Batavia:
JB Wolters Uitgegevers Maatschappij.
Rato,
D. 2003. Buju’ dan Asta:
Persepsi Masyarakat Sumenep Terhadap Kuburan Keramat, Dalam Sugianto (Ed):
Kepercayaan, Magi, dan Tradisi Dalam Masyarakat Madura. Jember:
PT.Tapal Kuda.
Rini
W. 2000. Candi Prambanan
Makame Rakai Kayuwangi Pacaran ing Candi Prambanan, bisa Pedhot”, Djaka
Lodang. No. 10. Sabtu Pon 5 Agustus2000. Tahun XXX.
Riyana,
Es.2000. “Ziarah Menyang
Makam KRA Sosronagoro Kanggo Nggayuh Undhaking Kalungguhan”, Djaka Lodang. No. 10. Sabtu
Pon 5 Agustus 2000. Taun XXX.
Ruslan
dan Nugroho, A.S. 2007.
Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa. Yogyakarta: Pustaka
Timur.
Soekmono,
R. 1981. Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Kanisus.
Sudiro, Yusan
Roes. “Makna Religius Upacara Adat di Kalangan Orang Jawa”, Bernas. Sabtu 25 Januari
1986.
Subroto,
FX. 2000. “Upacara Adat
Ki Ageng Tunggul Wulung”, Djaka
Lodang. No. 15. Sabtu Pon 9 September 2000. Tahun XXX.
Sumarno,
2004. “Makam Sunan Ampel
di Surabaya (Pengkajian Terhadap Persepsi dan Motivasi Pengunjung)”,
Patra-Widya. Vol.
5 No. 1, Maret 2004. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Spardlcy, J. 2006. Metode Etnografi.
Yogyakarta: Tiara Wacana.Subagya, R. 1981. Agama Asli Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka.
Tashadi. 1994. Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat Digunung Kawi. Malang: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Widayanti, S. 2000. Petilasan Sunan Panandaran di Bayat Klaten. Skripsi, (tidak dipublikasikan) Jember: FKIP Universitas Jember.
Widuatie, R. 1998. Budaya Spritual Dalam Situs Keramat Makam Ki Ronggo Di Bondowoso Jawa Timur. Laporan penelitian (tidak dipublikasikan) Jember: Debdikbud.
1 komentar:
Iron Rose TINY | Titanium Wedding Ring - Tatin' Art
Iron Rose TINY are a wedding garmin fenix 6x pro solar titanium ring titanium dog teeth implants made by Tatin' ford escape titanium Art. Titsanium Ring for the sugarboo extra long digital titanium styler TITIAN Wedding Rings, available now in TITIAN titanium bike frame ART.
Posting Komentar