Laman

Minggu, 01 Januari 2012

Riwayat Mbah Ikrom, Pendiri Desa Wringinrejo


Desa Wringinrejo merupakan salah satu desa dari enam desa yang berada di Kecamatan Gambiran. Desa yang  mempunyai luas  584,874 hektare ini, dapat ditempuh dengan perjalanan sekitar 1,5 jam dari pusat kota Banyuwangi.

Desa ini berbatasan langsung dengan empat desa lainnya. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng. Sebelah timurnya, ada Desa Tamanagung, Kecamatan Cluring. Sedangkan Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran, berada di sebelah selatannya. Dan, sebelah barat berbatasan dengan Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng.


Penduduk desa yang mencapai 1.971 kepala keluarga tersebar di enam dusun. Yakni, Dusun Mulyorejo, Dusun Krajan, Dusun Toyamas, dan Tamanrejo.

Sebagaimana desa di Banyuwangi, Wringinrejo termasuk desa agraris dimana sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Dari 6.718 jiwa penduduknya, sebanyak 2.433 jiwa di antaranya bekerja di sawah. Sedangkan sisanya, ada yang bekerja di sektor perdagangan, industri besar maupun kecil, serta pegawai negeri sipil.


Asal Mula Wringinrejo
Desa ini muncul sekitar tahun 1904. Sebelum menjadi desa sendiri, Wringinrejo dulunya masih menjadi bagian Desa Kembiritan. Sejarah Wringinrejo tidak bisa dilepaskan dari nama Mbah Ikrom. Tokoh ini dipercaya kuat sebagai pembabat alas pertama hingga Wringinrejo kini ramai dihuni orang.

Riwayat Mbah Ikrom masih bisa kita simak  dari Ali Abdullah, 57 tahun, yang merupakan buyut Mbah Ikrom. Kini, ia tinggal bersama keluarganya di Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng.

Ali Abdullah, menuturkan, pada awal tahun 1890 telah datang seseorang yang bernama Mbah Mulyo, asal dari Pendukuhan Genengan,  Rembang, Jawa Tengah.

Semasa hidupnya, Mbah Mulyo dikenal sangat rajin, disiplin, tekun dan tegas dalam menghadapi persoalan. Setelah menunaikan  ibadah Haji, nama Mbah Mulyo diganti menjadi KH. Mohammad Ikrom. Ia menikahi Sabinah atau Safinah, anak Adipati Sumenep Raden Sujamar.

Mbah Ikrom merupakan keturunan Raden Jayanmartosuro yang telah memberanikan diri melawan Belanda. Ternyata dalam usaha perlawanannya itu, Jayanmartosuro mengalami kekalahan. Akibatnya Belanda melarang Raden Jayanmartosuro beserta seluruh keturunannya melakukan kegiatan apapun seperti mengajar di musolla, berdagang dan lain sebagainya.

Hal inilah yang membuat Mbah Ikrom kemudian memutuskan untuk meninggalkan kampungnya dan mencari daerah lain untuk menyebarkan Islam. Dia pergi ke Banyuwangi, dan tiba pertama kali di Desa Padang, Kecamatan Singojuruh.

Mbah Ikrom tidak pergi sendirian. Beliau bersama sejawatnya, bernama Agung Salim. Untuk menghidupi diri, mula-mula mereka bekerja mencari rumput untuk makanan kuda.

Beberapa tahun kemudian, Mbah Ikrom pindah ke Dusun Klaten, Kecamatan Rogojampi. Di sini, dia mulai mengajarkan Islam kepada penduduk sekitar. Bahkan santri-santrinya berdatangan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Suatu ketika, Mbah Ikrom mengajak salah satu santrinya, Mursidi, untuk mencari tempat baru yang lebih nyaman untuk mengajar Agama Islam. Mereka berjalan kaki ke arah barat kemudian sampailah di hutan Kopen Lumbar, di tepi sungai yang berbatasan dengan Desa Kembiritan. Mbah Ikrom merasa tempat ini sangat cocok sebagai tempat mengajar sekaligus tempat hidup untuk anak cucunya.

Setelah mendapat restu dari Belanda, Mbah Ikrom beserta santri-santrinya membabat hutan Kopen Lumbar sekitar tahun 1894. Dibangunlah sebuah tempat sederhana untuk Setelah itu, dibangunlah tempat sederhana untuk bermukim sekaligus tempat pengajian dan berdakwah.

Namun lama-kelamaan tempat yang didirikan Mbah Ikrom tidak mampu lagi menampung para santri yang jumlahnya semakin banyak. Para santri akhirnya membuat gubuk-gubuk kecil sebagai tempat istirahat bahkan untuk bermalaman di sebelah rumah Mbah Ikrom yang ditumbuhi pohon beringin. Keberadaan gubuk-gubuk di bawah pohon beringin semakin lama juga semakin ramai.

Dari sinilah kemudian, Mbah Ikrom menamai daerah yang baru dihuninya ini dengan sebutan Wringinrejo. Wringin berasal dari pohon beringin sedangkan rejo berarti ramai.

Karena ilmu Agama Islam yang dimiliki, Mbah Ikron sangat disegani dan dihormati baik dikalangan tokoh masyarakat peribumi maupun pembesar Belanda. Bahkan beliau sering kedatangan tamu dari luar Banyuwangi.  Mereka biasanya meminta doa untuk berbagai berbagai macam kebutuhan atau kepentingan.

Menjelang pemilihan petinggi desa/kepala Desa Kembiritan tahun 1901, Mbah Ikrom kembali meminta kepada Belanda supaya Desa Wringinrejo dapat berdiri sendiri. Permintaan itu dikabulkan. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1904, Desa Wringinrejo sudah dipimpin oleh lurah sendiri. Berikut ini nama-nama kepala desa yang pernah memimpin Wringinrejo:

1. Mohammad Talban (1914)
2. Sya'dan (1914)
3. Sororejo (1915-1927)
4. Mangun Taruno (1927-1942)
5. Joikromo (1942-1950)
6. Baderi (1950)
7. Djahuri Singodimeja (1951-1989)
8. Fatchurrachman (1989-1998)
9. Agusto (1998-2006)
10. Bambang Hidayat (2006-2007)
11. Agusto (2007-sekarang)

Mbah Ikrom meninggal pada hari Jumat, bulan haji, tahun 1927.  Makamnya terletak di sebelah Masjid yang diberi nama Al-Ikrom. Masjid inilah yang dipercaya menjadi  tempat di mana pohon beringin tumbuh. Hingga kini, wafatnya Mbah Ikrom selalu diperingati oleh penduduk Wringinrejo.

Tradisi dan Pantangan
Berbagai tradisi yang dilaksanakan warga Desa Wringinrejo saat ini, juga berkaitan erat dengan apa yang telah dilakukan Mbah Ikrom semasa hidupnya. Sebut saja tradisi selamatan desa saat bulan Syuro dan baritan. Selain itu, warga juga pantang menggelar berbagai hiburan yang menyertakan alat musik gong.

Pantangan membunyikan gong ini bermula dari seorang penduduk bernama Wiryo Minco mengadakan pertunjukan wayang kulit dengan membunyikan gong. Tepat pada pukul 12 siang, semua orang baik pemain gamelan, tuan rumah dan seluruh penonton tidak sadarkan diri. Berita tersebut sampailah ditelinga para santri dan mereka langsung melapor ke Mbah Ikrom.

Ditengah perjalanan, Mbah Ikrom dihadang oleh kabut. Kemudian, Mbah Ikrom meminta santri yang melapor untuk mengumandangkan azan ke 4 arah yakni barat, utara, timur, dan selatan. Tujuannya untuk menghilangkan jin.

Mengumandangkan azan ke empat arah mata angin inilah kemudian dikenal dengan tradisi Baritan. Tradisi ini masih digelar warga Wringinrejo setiap bulan Syuro.

Setelah sampai di tempat acara, Mbah Ikrom mencambuki orang-orang yang tidak sadarkan diri itu dengan serbannya sambil berkata, "kurang ajar, kurang ajar jin." Tak lama kemudian orang-orang tersebut hidup kembali dan disuruh mandi di sungai. Sebelum jin meninggalkan tempat tersebut, dia meminta persyaratan agar di beri pesangon kerbau yang dibiri atau dikhitani. Mbah Kyai Ikrom pun menuruti persyaratan tersebut. Beliau segera mencari kerbau untuk dibunuh dan untuk syukuran desa.

Kepercayaan tidak membunyikan gong ini pun akhirnya dipegang turun-temurun. Pernah suatu kali ada penduduk yang melanggar dengan mengadakan hiburan membunyikan gong. Setelah selesa hajatan tersebut, seluruh keluarga tersebut terkena musibah. Tuan rumah mengalami sebuah penyakit yang cukup serius dan sulit untuk disembuhkan. Penyakitnya baru sembuh setelah setelah berziarah ke makam Mbah Ikrom. (Martini Anggraini)

5 komentar:

ok,, ceritanya sangat lengkap dan smua itu memang benar,,,,
saya muridnya/santrinya h.Ali abdullah....
saya mengucapkan bnyak trimakasih karna telah menuliskan riwayat dari desa wringinrejo,,,,

Saya bangga menjadi warga wringinrejo

Mantavvv.. terima kasih buat penulisnya.

Terimakasih
Sebagai warga ringinrejo baru tau sejarah ini

Aku termasuk anak cucu mbh Ikrom sangat bangga

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More